Ulang Tahun yang
Tertunda
Dan biarkan aku di sini. Ditemani air mata yang
menggumul sebagai pelengkap kesedihanku. Sementara mata sudah tak jelas lagi
melihat mobil putih yang menghilang ditelan tikungan. Tak kuisakkan tangis di
antara mereka yang juga kehilangan. Kutaruh bola mata agak di atas, mendekati kelopak mata agar air mata
tak tumpah sampai ke pipi. Kupeluk mereka, padahal aku sedang berusaha melawan
tangis kesedihan yang mendesak.
Lonceng akhirnya berdentum, saat waktu perpisahan
harus tiba. Terlalu singkat kurasakan pengabdiannya dan untuk mengenalnya lebih
jauh, Tuhan tak terlalu memberi kesempatan yang banyak. Kita tak berada di
dunia yang berbeda. Namun kita tak lagi dapat berjumpa dalam mata, dalam bibir.
Berada di bawah langit yang sama, namun memijaki tanah yang tersekat oleh
lintang jalan. Jarak dan kerinduan selebihnya bergejolak di dalam batin.
Dari sini, di waktu yang sama, bisa kuperhatikan dia
sibuk memotong bawang merah dengan talenan kayu yang sudah banyak menampak
goresan pisau. Sesekali dia menoleh, lalu tersenyum padaku. Aku, yang duduk di
bantaran beton datar sebagai pelindung tempat pompa air bekerja. Menyaksikan
tangannya lihai memainkan sendok yang tercelup dalam minyak di wajan. Dan
kubayangkan itu sampai air mata tumpah akhirnya.
Semua berawal dari riuhnya suasana kantin di pagi
hari. Aku mencoba menemuinya di antara kerumunan orang-orang yang juga punya
kepentingan serupa. Aku harus meminta garam secukupnya untuk sesajen, tetapi
tak kutahu di mana ia meletakkannya. Di dalam dapur yang padat oleh manusia,
akhirnya aku berhasil menghadap tepat di wajahnya, mengulum senyum sebelum
bertanya di manakah aku bisa mendapat garam. Tangannya mengambil sebuah lap
kotor dengan motif kotak-kotak merah, mencoba mengangkat panci di atas tungku
api kompor. Asap mengepul di antara wajahnya. Sambil meletakkannya di atas
meja, dia menunjuk meja kecil di pojok dapur sebagai jawaban atas pertanyaanku.
“Kamu bisa mengambil sebungkus di antaranya, Lita.”
Aku menoleh ke arah telunjuknya, tetapi aku mendengar namaku disebut olehnya,
samar. Seperti perintahnya, kuambil sebungkus garam yang berukuran sedang,
lebih dari cukup untuk memenuhi sesajen. Keluar dari dapur itu tak sesulit
mendekati Pak Badu saat menanyakan garam. Ruangan mulai lowong karena banyak
orang sudah pergi meninggalkan kepadatan dapur. Aku kembali dengan sebungkus
garam di genggaman, menghampiri Rani yang sedari tadi menungguku.
Puncak
hari raya tiba, saat semua sesajen dibawa menuju Parahyangan sebagai
persembahan kepada-Nya. Barisan manusia duduk dengan rapi di atas rerumputan
yang basah oleh fajar. Dengan beralaskan sandal masing-masing, semua khidmat
mengikuti jalannya upacara. Aku teringat kejadian di dapur kantin kemarin.
Suara itu senantiasa terngiang di telingaku, bahkan sampai di antara mimpi
tidurku.
Aku sama sekali tak menyangka bahwa Pak Badu tahu namaku,
siswa yang tidak tenar seantero jagat sekolah, bahkan tidak berusaha akrab
dengan setiap warga sekolah terutama guru dan staf. Dia bahkan mengucap nama panggilanku
dengan sempurna, lafal yang jelas meski suaranya tak terlalu lantang. Untuk
pertama kalinya, aku merasa diperhatikan oleh orang tua di sini.
Seperti pagi ini, dia tersenyum padaku dan memanggil
namaku serta menanyakan kabarku. Sungguh, belum ada orang lain yang berlaku
demikian padaku. Aku sedikit malu ketika dia menyapaku terlebih dahulu, apa dia
paham bahwa dia harus maklum terhadap satu siswa yang pemalu ini? Dan satu hal
yang ingin kutanyakan, apakah siswa lain mendapat perlakuan yang sama sepertiku
terhadap Pak Badu?
Sore ini, Karin membawa sebutir telur dan mengajakku
untuk menggorengnya di kantin. Aku tersontak riang, berharap aku dapat bertemu
dengan Pak Badu lagi. Pak Badu sedang santai ketika kami datang. Sebuah
handphone yang layarnya disentuh berada di genggamannya. Kayu-kayu yang
dirangkai sedemikian rupa hingga membentuk kursi kecil menjadi pijakan bagi
pantatnya. Lagi, kulihat senyum tersungging di bibirnya, memperlihatkan
gigi-giginya yang putih bersih dan rapat.
“Pak, kami minta izin mau menggoreng telur di sini.
Boleh kan, Pak?” tanya Karin dengan manis. Karin selau tak pernah ragu untuk
mengutarakan maksudnya. Terkadang aku merasa terlalu tepat berteman dengan
Karin yang sejauh ini dapat melenyapkan ketidakberdayaanku akibat malu.
“Tentu saja boleh, apa sih yang tidak untuk Karin,”
ujarnya berceloteh.
Dia tertawa sedikit terbahak oleh lelucon yang ia
buat sendiri, menyembunyikan sedikit putih di matanya. Aku memperhatikan Karin
yang tengah mengocok telur mentah saat sudah dicampurnya dengan sedikit bawang
merah, garam dan cabai. Pak Badu memperhatikan pula tingkahku yang begitu
antusias memperhatikan Karin, maklum aku tidak bisa memasak kecuali air hangat
dan mie instan. Kuambil dua buah ompreng untukku dan Karin, yang menu sore itu
ditambah dengan telur masakan Karin.
Ikan teri yang dicampur dengan telur goreng terasa
nikmat menjadi makan malam, apalagi ditambah dengan sup kacang kedelai hitam.
Aku dan Karin makan malam bersama di dapur kantin, di meja tempat Pak Badu
biasa memotong bahan-bahan masakan.
“What is teri in English, ta?” tanya Karin padaku
tiba-tiba. Karin memang selalu spontan bertanya tentang apa yang ingin dia
tahu, terutama mengenai kosa kata bahasa Inggris.
“Em, I don’t know,” sahutku seadanya. Aku sama
sekali tidak berusaha mengingat karena aku memang tidak pernah tahu bahasa
inggrisnya.
“Salted fish,” terdengar sebuah jawaban dari
belakang kami. Pak Badu menjawab pertanyaan Karin dengan pengucapan yang
menurutku luar biasa. Pengetahuan Pak Badu begitu luas dan dia mengucapkannya
dengan sempurna, padahal Pak Badu hanyalah seorang juru masak di sekolah ini.
Diam-diam aku semakin mengagumi Pak Badu, atas kebaikan hatinya juga kemampuan
yang dimilikinya.
Sore itu kami terus mengobrol dengan menggunakan
bahasa Inggris. Aku mendapat banyak pengetahuan baru dari Pak Badu serta kurasa
usiaku akan bertambah karena Pak Badu berhasil membuatku tertawa sepanjang sore
hingga petang itu.
Atas dengan alsasan apa Tuhan tiba-tiba
mengenalkanku dengan Pak Badu, terlampau dekat hingga bisa kuanggap dia teman
sekaligus orang tuaku. Tiada yang memperlakukanku serupa juga tiada yang
kuanggap serupa sepertinya.
Suatu sore, aku menantikan kehadiran Pak Badu di
tengah kesibukan dapur. Terhitung tiga hari tak kulihat batang hidungnya.
Kukira ia sakit, tetapi Bu Ayu berkata bahwa Pak Badu baik-baik saja hanya
sedikit ada urusan.
“Akan ada acara untuknya besok, ta.” Bu Ayu
menyampaikan dengan datar. Kupikir dia berulang tahun. Aku mungkin hanya perlu
membuat kartu ucapan karena toh aku terlambat mengetahuinya.
Dengan kartu ucapan sederhana yang kubuat sendiri,
aku bergegas ke kantin untuk membantu persiapan acara. Hatiku tercelos
tiba-tiba melihat spanduk di dinding kantin bertuliskan Sampai Jumpa Pak Badu dengan mengatasnamakan seluruh keluarga besar
sekolah kami. Apa maksudnya ini? Acara ulang tahun yang terbayang dalam benakku
rasanya beralih menjadi perpisahan.
Siang itu aku tidak makan karena berusaha keras
mempercayai kabar akan kepergian Pak Badu. Jika Pak Badu tahu aku begini, ia
pasti akan marah. Lalu mengapa tak seorang pun memberi tahuku, bahkan Pak Badu
pun bungkam. Setengah hari itu kulalui tanpa semangat, sementara aku masih tak
menjumpai Pak Badu.
Menjelang acara, akhirnya Pak Badu hadir dengan
kemeja biru yang lengannya terlipat sampai ke siku. Sebuah tas besar berada di
sampingnya, dia akan berangkat senja itu juga. Aku menatap kembali kartu ucapan
selamat ulang tahunku untuknya. Diam-diam aku menyelipkannya di jas masaknya
yang tergantung di pintu masuk dapur, setelah kutuliskan beberapa tambahan
kata, Selamat ulang tahun, Pak Badu.
Kapanpun kau berulang tahun, kapanpun kau akan kembali.
Isak tangis kehilangan mulai terdengar memekik,
menyadari sosok Pak Badu tak lagi akan menemani siswa di sini, bukan hanya aku.
Masakan khas dan guyonannya tak lagi menyertai. Aku berdiri di belakang dapur,
menyimpan kesedihan sendiri, entah Pak Badu menyadari ketidakberadaanku. Tak
sanggup kupandangi Pak Badu saat ia berkesempatan menyampaikan beberapa patah
kata. Hampir pukul tujuh, semua berhamburan keluar kantin, mengantarkan Pak
Badu menuju mobil putih yang akan membawanya pergi.
Jas masak berwarna abu polos sudah melekat di
tubuhnya, kuharap kartu ucapanku sampai padanya. Aku menyaksikan pemandangan
menyedihkan itu dibalik kaca jendela kantin yang berdebu. Biar hanya aku yang
tahu aku menangis dan aku sendiri yang akan mengusapnya. Aku tak bisa di sana,
melepas semua tawa dan cerita yang pernah terlewati bersamanya, menyadari
kenangan tak akan terulang, juga tak pernah tahu kapan waktu akan mempertemukan
kami kembali.
Semangat nulisnya ya.
BalasHapusPosting terus hasil karya kamu sendiri.
semangat terus berkarya!!
BalasHapus